168 jam di Ibukota [Seharusnya sebuah catatan perjalanan]

“Mau ke jakarta mas?” Tanya seorang lelaki berambut gondrong dengan kucir karet.

“Oh, iya mas.” Jawabku sedikit terkejut.

Sebuah awal dari perbincangan yang seru dan mengasyikkan pun terjadi antara saya dan lelaki itu. Penampilannya yang santai dan cenderung cuek dengan celana pendek, ransel 40 liter dipadu sepasang sepatu penjelajah yang terbuat dari kulit membuatku teringat akan seorang kawan. Saya sebut mereka para penjelajah. Continue reading “168 jam di Ibukota [Seharusnya sebuah catatan perjalanan]”